Download

Kampung Naga

Sejarah Kampung Naga

Pada masa Kerajaan Galunggung di abad 15-16, lembah Kampung Naga adalah tempat persembunyian Singaparana yang diyakini sebagai leluhur masyarakat Naga. Singaparana –putra bungsu Prabu Rajadipuntang, raja terakhir kerajaan Galunggung -ditugaskan menjaga pusaka kerajaan dari incaran pemberontak. Untuk itu ia mewarisi ilmu “kebodohan” dari ayahnya. Dengan bekalnya, singaparana diharapkan dapt bersembunyi mengelabui musuh agar pusaka tetap aman. Dipilihnyalah suatu lahan di kaki bukit, ditepi sungai Ciwulan, tersembunyi dikelilingi bukit-bukit.
Di tempat itu Singaparana membangun permukiman untuk melanjutkan kehidupannya. Lahan yang strategis itu bagaikan “tersembunyi ditempat yang terang”. Sungai, mata air, hutan, lahan subur, serta aliran udara yang baik menyediakan semua yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan permukiman. Pengolahan sawah dan pembangunan lahan tempat tinggal membuat permukiman ini berkembang sampai menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai Kampung Naga. Kampung Naga terletak tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dengan Tasikmalaya. Kampung ini berada pada sebuah lembah yang subur, dilalui oleh sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray di daerah Garut. Lokasi kampung yang cukup mudah dicapai dari jalan Garut-Tasikmalaya, tidak melunturkan warisan ‘kebodohan’ dari leluhur. ‘Kebodohan’, yang dapat diartikan sebagai kebersahajaan sehingga tidak timbul keinginan berlebih dalam memenuhi kebutuhan hidup, diharapkan akan melindungi penduduk Kampung Naga dari pengaruh luar yang dapat menggeser nilai-nilai kehidupan mereka. Konsep warisan ini terwujud sampai pada kehidupan bermukim mealui aturan-aturan tertentu, sehingga secara fisik terbentuklah kampung dengan rumah-rumah seragam yang sarat dengan makna dibaliknya. Jumlah penduduk Kampung Naga sekitar 400 jiwa, yaitu sekitar 10 persen dari seluruh penduduk Desa Neglasari. Akan tetapi jumlah jiwa orang-orang yang termasuk “adat se Naga” masih banyak lagi, yaitu orang-orang Naga yang bertempat tinggal di luar Kampung Naga bahkan di luar Desa Neglasari dan ada yang bertempat tinggal di Garut, Tasikmalaya, Bandung dan Cirebon. Mereka ini masih terikat oleh adat Naga dan setiap upacara adat, mereka selalu memerlukan datang ke Kampung Naga untuk berziarah ke makam keramat leluhur mereka. Mereka yang bertempat tinggal diluar Kampung Naga, walaupun masih “adat sa naga” tidak terikat lagi oleh ketentuan untuk membuat rumah seperti yang berlaku dilingkungan Kampung Naga, mereka hanya terikat oleh adat-istiadat Naga yang berhubungan dengan kehidupan upacara. Orang Naga termasuk suku Sunda dan berbahasa Sunda, mereka dikenal sebagai orang-orang yang kuat memegang adat-istiadat atau tradisi nenek moyangnya. Namun demikian merka adalah penganut agama islam yang taat. Upacara adat “ se Naga “ pun dilakukan pada bulanbulan yang dianggap suci, seperti bulan Muharam, Mulud, Jumadil Akhir, Bulan Puasa (setelah sholat Ied), Rayagung, Rewah. Disamping menjalankan dan mempertahankan adat kebiasaan dan tata cara kehidupan sehari-hari menurut kebiasaan nenek moyang mereka. Walaupun demikian, mereka tidak hidup mengisolasikan diri dari pergaulan dan tidak menutup diri dari pengaruh luar, sejauh tidak merusak kehidupan adat-istiadat dan kebiasaan mereka yang turun temurun. Dalam kehidupan sosial, mereka sudah jauh tertintegrasi dengan kehidupan masyarakat sekitar desa tersebut.
»»  read more